Jumat, 27 Desember 2013

[cerbung] Cita-Ci(n)ta ... (2)



Waktu itu liburan semester telah tiba. Sebagian besar mahasiswa kembali ke kampung halamannya termasuk seluruh penghuni kostan melati kecuali aku. Aku terpaksa menunda kepulanganku satu hari karena ada pekerjaan sampingan yang harus aku selesaikan. Tinggallah aku sendiri di kostan berlantai dua yang memiliki daya tampung 20 mahasiswi ini. Terasa sepi dan sunyi. Untuk mengusir keheningan aku menyalakan radio dengan volume maksimal. Ikut bersenandung tralala trilili tapi tetap saja rasanya sunyi. Ah rasanya gawat kalau aku terus-terusan merasa paranoid seperti ini, bisa-bisa tidak bisa tidur malam ini. Aku putuskan untuk keluar kostan dan berjalan kaki sampai kelelahan. Setelah lelah dan rasa kantuk itu datang barulah aku kembali ke kostan. Langsung menuju tempat tidur tanpa cuci kaki ataupun sikat gigi. Sebelum terlelap aku mengirimkan pesan singkat ke Bodo. Bodo juga menunda kepulangannya satu hari karena mengerjakan pekerjaan sampingan yang sama denganku.

“Do, kerjaan lo udah beres? Hehe basa-basi banget ya gw nanyain kerjaan jam segini. Do, gw parno nih malam ini di kostan sendiri.”

Pesan itu aku kirimkan bukan untuk mengharapkan sebuah balasan. Hanya ingin berbagi cerita saja, bahwa aku sahabatnya yang dianggap pemberani bisa juga ketakutan.

Matahari pagi sudah mulai menyingsing. Alarm jamku juga sudah berbunyi. Perlahan aku membuka mata dan ternyata sudah pagi. Tak kusangka bisa juga aku tidur nyenyak malam tadi. Aku paksakan kaki untuk berjalan keluar kamar menuju kamar mandi. Selangkah lagi menuju kamar mandi aku baru ingat, handukku ada di luar. Aku seret langkah kaki menuju keluar kostan.

Sesampainya di depan pintu kostan, terlonjak kaget aku dibuat oleh sosok yang sedang bergelung dengan kain sarung. Aku dekati sosok tersebut sambil bertanya-tanya siapa dia yang sedang tidur di depan teras kostan melati. Ya ampun, ternyata sosok yang sedang tertidur di teras dengan kain sarung hitam menyelubungi itu adalah Bodo. Spontan aku langsung membangunkan dia.

“Hei, ngapain lo ada di sini? koq bisa tidur di depan sini?” tanyaku.

Bodo sudah terusik dengan ocehanku. Dia menggeliat ke kanan dan ke kiri. Seperti seorang anak kecil yang sedang dibangunkan ibunya untuk berangkat ke sekolah. Mencari-cari alasan untuk tetap diijinkan terpejam 5 menit lagi. Tingkahnya membuat aku ingin tersenyum. Tak lama kemudian Bodo membuka matanya sambil membalikkan badan ke arahku yang sedang duduk di samping kirinya.

“Bisa tidur gak lo semalam?” tanya Bodo sambil berusaha membuka penuh matanya. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. “Udah ah, gw mau lanjut tidur lagi. Lo ganggu gw aja” ucapnya dengan nada sedikit kesal. Dan aku masih tetap tersenyum. Bodo bangkit dari kursi tempat dia tidur, mengalungkan sarungnya dan kakinya menggapai-gapai mencari sepasang sandal. Dia berjalan perlahan dan memunggungiku yang masih terduduk dan tersenyum. Sebelum punggungnya semakin jauh, aku pun bersuara setengah berteriak.

“Do jadi lo ngejagain gw semalam” nada senangku jelas terdengar. Bodo tetap melangkah menjauh. Tanpa berbalik badan dia menjawab, “Gak usah ge-er”. Aku tetap terduduk dan tersenyum. Bahkan saat sekarang aku mengenang kejadian itu, posisi dan ekspresiku masih sama. Terduduk dan tersenyum.

“Tambah minumannya lagi, Bu?”. Suara pramusaji membuyarkan lamunanku. Lamunan atas kenangan-kenanganku saat bersama Bodo. Aku menggeleng perlahan kepada pramusaji itu. Sebagai bentuk jawaban tidak atas tawarannya.

Saat ini aku sedang berada di kedai kopi yang terletak dibilangan Jakarta Pusat. Dua gelas teh tarik telah tandas aku minum sambil menanti seseorang datang. Orang yang aku nanti bukan terlambat datang, tetapi aku yang memilih datang satu jam lebih awal. Aku ingin memberikan ruang untuk memori itu bangkit lagi. Iya, orang yang aku nanti adalah Bodo.

Kedai kopi tempat kami bertemu hari ini tidak seperti warung kopi kang asep tempat kami nongkrong sewaktu kuliah dulu. Tempatnya lebih mewah dengan ornamen bergaya vintage dan dinding kaca yang menyelubungi seluruh ruangan. Sehingga aku bisa melihat lalu lalang orang di depan sana. Meskipun kedai kopi ini lebih mewah dan menu yang ditawarkan lebih beragam, namun aku tidak menjamin kedai kopi ini lebih nyaman dari warung kopi kang asep. Dengan segala keterbatasan yang ada di warung kopi kang asep, aku tetap merasa warung kopi kang asep lebih nyaman dan lebih hangat. Senyuman yang diberikan kang asep lebih tulus dibanding senyuman pramusaji kedai kopi ini. Senyuman pramusaji hanya akan mengembang jika kau mengeluarkan uang. Tapi sayangnya aku dan Bodo tidak bisa lagi sering-sering ke warung kopi kang asep. Karena tempatku bekerja berbeda kota dengan warung kopi kang asep.

Hari ini aku akan bertemu lagi dengan bodo setelah satu tahun kami memutuskan untuk tidak saling bertukar kabar. Keputusan ini dibuat karena tiap pertemuan aku dan bodo hanya saling melemparkan keluhan satu sama lain. Tiga tahun selepas kelulusan kami, hidup kami seakan hanya dihinggapi keluhan. Bodo yang selalu mengeluh tentang betapa menjemukannya menjadi seorang bankir. Dan aku yang selalu merutuki klien yang merampas waktu luangku.

Sebulan setelah wisuda, bodo mendapat pekerjaan sebagai treasury di salah satu bank swasta terkenal di Indonesia. Satu sisi aku gembira dia mendapat posisi itu namun sisi lainnya aku bertanya-tanya, lupakah dia dengan mimpinya? Aku pun pernah menanyakan langsung kepadanya tentang impiannya menjadi musisi hebat. Dan bodo hanya menyunggingkan senyum yang dipaksakan ada. Sisi egoisku menyimpulkan bahwa bodo orang yang pasrah. Tidak mau memperjuangkan cita-citanya. Namun akhirnya bodo memberi pengertian bahwa semakin kau bertambah usia kau akan mengerti kehadiranmu di bumi bukan hanya untuk memenuhi keinginan sendiri. Meskipun kalimat ikhlas itu keluar dari mulutnya sendiri, namun menjalankannya tidak semudah mengucapkannya. Terbukti dari binar mata bodo yang semakin redup dari hari ke hari. Tapi apa yang lebih baik dilakukan oleh seorang anak yatim yang menanggung beban pendidikan dua adiknya?

Dan tentang aku, keluhanku berbeda dengan bodo. Tentu bukan karena aku menjalani pekerjaan yang tidak sesuai passion. Prinsipku masih sama yaitu daily bases. Untuk itu aku meng-apply setiap lowongan pekerjaan yang masuk ke mailing list. Dua bulan setelah wisuda aku mendapat pekerjaan menjadi measurement science di sebuah perusahaan riset pemasaran. Sebagai sebuah perusahaan riset pemasaran berskala multinasional tentu saja klien yang dimiliki adalah klien-klien kelas kakap. Project yang dikerjakan sebagian besar project berskala nasional. Terdengar hebat? Tapi tunggulah sampai kau tahu betapa waktumu akan terampas oleh para klien. Aku selalu merutuki akhir pekanku yang selalu dirampas untuk mempersiapkan bahan presentasi yang wajib selesai senin pagi. Sampai ada anekdot di tempat aku bekerja, bahwa kalender yang kami miliki hitam semua tak ada tanggal merah. Kantorku menjadi penjara untuk diriku sendiri.

Aku dan bodo seperti jiwa-jiwa hampa yang berjalan setiap pagi. Lalu berganti menjadi jiwa-jiwa lelah yang pulang setiap malam. Sampai aku dan bodo berkelakar, bahwa seseorang telah meminum ramuan polyjus dengan ekstrak rambut kami dan menjalani kehidupan kosong setiap hari. Arif Priambodo dan Miranda Utami yang asli entah sedang disembunyikan dimana.

“Woi, ngelamun aja!”. Seseorang meneriakiku sambil mendorong lembut pundak kiriku. Aku mengenali suara pria itu. Iya itu suara milik arif praimbodo. Aku terlonjak histeris melihatnya. Ada perasaan rindu dan haru akhirnya bisa bertemu dengan sahabatku lagi.

“Waahh..kangen gw do!” ucapku semringah.
“Udah dua gelas aja nih di depan gw. Hayo ngaku lo tadi ketemuan sama siapa dulu?” tanya bodo usil.
“Ha-ha gw datang satu jam lebih awal tahu. Soalnya pengen mengenang masa lalu kita. Gw kangen banget tahu do sama lo. Gak kangen apa lo sama gw?” jawabku sambil terkekeh.
“Iye sama” jawab bodo sekenanya.
“Eh gw punya kabar gembira pan. Akhirnya gw resign dari bank” ucap bodo dengan bahagia. Tak pelak akupun ikut bahagia. Dan aku menemukan kembali binar mata bodo. Akhirnya Arif Priambodo yang asli telah kembali. Ramuan polyjus entah apalah itu.

Bodo menceritakan tentang dirinya yang akhirnya resign. Keputusan bodo untuk keluar dari bank ternyata bukan atas kehendak diri sendiri. Memang selama ini dia tidak menikmati menjadi seorang bankir. Namun mengingat tanggung jawabnya yang menjadi tulang punggung keluarga, bodo menepis jauh-jauh keinginan itu. Sampai suatu hari, ibunya mendatangi bodo. Ibu bodo berpikir sudah terlalu banyak yang bodo lakukan untuk keluarga, untuk ibu dan kedua adiknya. Sudah saatnya bodo untuk memikirkan diri sendiri. Tentang ketidakbahagiaan bodo menjadi seorang bankir, ibu bodo sudah tahu itu sejak lama. Namun waktu itu tidak ada pilihan lain untuk ibu bodo membiarkan putranya mengambil peran seorang ayah yaitu menafkahi keluarga. Saat ini kedua adiknya sudah bisa mandiri. Sudah saatnya bodo mengejar impiannya. Restu ibu sudah ditangan, untuk apa lagi ragu melangkah!

Lain halnya dengan bodo, aku tidak memilih jalan resign. Aku tahu bahwa kantorku memiliki jam kerja yang over time. Tapi tidak ada niatan resign dalam otakku. Selama setahun terakhir ini aku berusaha memperbaiki sikapku dan pikiranku. Jika dulu tiap tambahan jam kerja yang diminta klien akan aku hadapi dengan kutukan dan sumpah serapah. Maka sekarang aku mencoba mulai berubah dengan berpikiran lebih positif. Menganggapnya sebagai suatu berkah. Setiap pekerjaan yang aku selesaikan aku anggap sebagai suatu karya. Lambat laun pikiran positif ini mulai menunjukkan efeknya. Aku merasa lebih bahagia. Menanamkan rasa syukur atas apa yang kita terima membuatku lebih bahagia. Cara yang aku terapkan ini memang bukan jalan instan. Seperti meminum jamu, kamu harus rutin mengkonsumsinya tiap hari agar merasakan manfaatnya dikemudian hari.
  
Aku dan bodo punya cara yang berbeda, tapi kami bermuara pada sungai yang sama. Bahagia.

“Ternyata teori lo bener ya do. Kalo ion negatif berkumpul dengan ion negatif, hanya akan mengundang ion negatif lainnya. Untung setahun yang lalu kita berani untuk memutuskan tidak saling bertukar kabar dulu. Akhirnya selama perpisahan ini, kita menemukan penetralisir yang dibutuhkan yaitu ion positif.” Kesimpulanku atas sesi curhat yang panjang hari ini.

“Iyalah bener. Teorinya Profesor Arif Priambodo gitu. Eh lo masih inget damar gak pan?”
Napasku tertahan mendengar kalimat yang diucapkan bodo.
“15 menit lagi damar nyampe ke tempat ini. Gw ngundang dia untuk gabung dengan kita malam ini.” Ucap bodo dengan nada santai. Tapi aku terbatuk-batuk mendengar kalimat terakhirnya.

[bersambung]

catatan :
Ramuan polyjus adalah salah satu ramuan yang ada dalam serial Harry Potter. Ramuan ini digunakan untuk transfigurasi, memungkinkan peminumnya dapat berubah bentuk menjadi orang lain.

Senin, 16 Desember 2013

Senyuman Pagi

Senyuman Pagi - QN 65

Senyuman pagi sambut sang mentari
Nikmati indahnya dunia
Memberi semangat di sudut hati
Tuk jalani hari ini
Kicauan burung burung yang bernyanyi
Dahan dahan ikut menari
Nikmati alam yang penuh simfoni
Simfoni senyuman pagi

Bridge :
Lalui hari hari penuh percaya diri
Kurasa tak kan ada yang menghentikan langkahku

Reff :
Senyuman pagi
Awali hari indah tuk tundukkan dunia
Senyuman pagi
Membuat hidup lebih berarti

Saat masalah hidup menghampiri
Hadapi dan janganlah lari
Karna dunia masih trus berputar
Bintang bintang masih bersinar

Chorus :
Karna hidup bukan tuk saling menyakiti
Dan karna kita bersaudara

***************************************************************************************************
Lagu senyuman pagi di atas adalah salah satu lagu karya anak-anak dan guru pengajar di Taman Asuhan Quratunnada. Paket lagu ini saya dapatkan hari minggu kemarin, dikirim oleh salah satu pengajarnya. Niat awal mau membeli CD tersebut sebagai bentuk apresiasi terhadap karya mereka. Eh ternyata malah dikasih gratis hehe rejeki :))..

Lagu senyuman pagi tersebut menjadi mood booster saya di pagi hari. Senyuman pagi menerbitkan semangat pagi.

Terima kasih mas arif, wanya, ncie dan teman-teman di Quratunnada. Lagi lagi ALLAH SWT membuktikan bahwa Dia Maha Kaya. Saat kita memberi pada akhirnya kita akan mendapatkan lebih.

Kamis, 28 November 2013

Lentera Dhuafa

Adalah Astri Wana atau yang akrab disapa wanya yang mengajak saya untuk ikut dalam kegiatan "Lentera untuk Dhuafa". Wanya adalah teman saya sewaktu kuliah dulu. Dia adalah pengajar muda indonesia mengajar angkatan ke-4. Pertengahan tahun ini wanya baru saja kembali dari tugasnya mengajar di fak-fak, papua. Saat briefing untuk kegiatan kelas inspirasi saya dipertemukan kembali dengan wanya. Dari situ silahturahmi kami terjalin kembali.

Kegiatan "Lentera untuk Dhuafa" ini digagas oleh Taman Asuhan Quratunnada, Bogor. Tujuan dari kegiatan ini adalah ingin berbagi bersama kaum dhuafa. Berbagi mimpi, berbagi semangat dan berbagi cita-cita. Salah satu kegiatan yang akan dilakukan oleh para peserta saat acara tersebut adalah mengunjungi 5 lentera yang disediakan yaitu Lentera Pendidikan, Lentera Kesehatan, Lentera Budaya, Lentera Nada, dan Lentera Bumi.

Para pengajar muda, relawan kelas inspirasi dan rekan-rekannya (baca : saya) diminta untuk mengisi kegiatan di Lentera Pendidikan. Di dalam lentera pendidikan, peserta akan diajak untuk berani bermimpi, berani untuk bercita-cita tinggi. Selain itu peserta juga akan mendapat pengetahuan tentang jalur-jalur pendidikan yang dapat mereka tempuh untuk mencapai mimpinya.

Peserta kegiatan ini sekitar 1260 orang yang akan dibagi ke dalam kelompok-kelompok. Tiap kelompoknya dibentuk dari 75-80 orang. Karena terbatasnya waktu kegiatan dan banyaknya peserta yang hadir, maka tiap kelompok hanya diberi kesempatan 15 menit di dalam tiap lentera yang dia kunjungi. Hal ini juga menjadi tantangan bagi kami para pengajar. Materi apa yang dapat kami bagi dalam waktu sesingkat itu. Dan 15 menit tersebut kami susun se-optimal mungkin.

Setiap kelompok yang masuk akan kami awali dengan penyambutan gerakan "mengejaaarr mimpi" yaitu gerakan berlari di tempat kemudian melompat. Siapa yang lompatannya paling tinggi, mimpinya akan lebih cepat terwujud. Hehe itu kalimat penyemangat kami untuk para peserta agar mereka melompat setinggi-tingginya. Setelah itu peserta akan terbagi lagi menjadi kelompok yang lebih kecil. Dan dalam kelompok kecil tersebut mereka akan bermain puzzle profesi atau jalur profesi dan juga sharing tentang mimpi mereka atau pun pengajar menceritakan kisah sukses seorang tokoh.

Sebenarnya tugas saya dalam kegiatan tersebut menjadi MC bersama dengan wanya. Tapi kondisi relawan pengajar yang terbatas sehingga dari awal saya ikut menjadi pendamping bagi kelompok kecil. Banyak nama, banyak senyum keikhlasan, banyak keluguan yang saya lihat hari itu. Subhanallah. Beberapa nama masih saya ingat seperti Suherman yang bercita-cita ingin menjadi pegawai kantoran. Sejak awal Suherman masuk ke dalam lentera, saya sudah memperhatikannya karena dia aktif sekali. Saya dekati dia, kemudian liat nametag-nya disitu tertulis
Nama : Suherman
Cita-cita : Pegawai Kantoran
Suherman masuk sebagai salah satu peserta dalam kelompok kecil yang saya dampingi. Dia memang orang yang aktif dan bersemangat. Saya suka dia, interaktif di kelompok kecil kami-pun jadi hidup karenanya. Tak terasa waktu 15 menit berlalu dan saatnya kelompok lain untuk bergantian masuk ke lentera pendidikan. Saat kelompok Suherman dkk pergi meninggalkan lentera pendidikan. Tak kusangka Suherman datang menghampiriku, dia mengajak untuk toss. Give me five :)). 

Lain halnya dengan Suherman, peserta lain bernama Acay. Acay murid kelas 6 SD dan dia tinggi sekali. Mungkin tingginya sekitar 170 cm. Sayapun harus mendongak jika sedang berbicara dengannya. Acay bercita-cita menjadi polisi. Saya pun mendapati beberapa anak yang cita-citanya ingin menjadi ulama karena ingin membahagiakan ibu. Ada juga yang ingin menjadi ustad dan qari. Subhanallah.

Jika ada pemilihan peserta favorit, bagi saya Rephan-lah juaranya. Rephan salah satu peserta yang belum memasuki usia pendidikan SD. Umurnya baru 4-5 tahun, tingginya pun tak jauh beda dengan tinggi keponakan saya. Saat memasuki lentera pendidikan, kami meminta Rephan untuk berdiri paling depan, agar lebih mudah terlihat. Setelah pembukaan, kami mengajak anak-anak tersebut bermain sebagai ice breaking. Permainannya yaitu MC akan menyebutkan suatu angka, dan para peserta diminta membuat kelompok sebanyak angka yang disebutkan tadi. Rephan ikut bermain pada games tersebut. Saat perpindahan kelompok dia ikut berlari-larian. Tak masalah dia harus terseret-seret dari kelompok satu ke kelompok lainnya. Sempat terpikir untuk melarang dia ikut bermain, tapi melihat wajahnya yang begitu gembira maka kami biarkan Rephan tetap bermain. Kekhawatiran orang dewasa tidak perlu menjadi pembatas kreativitas ataupun kegembiraan mereka. Tugas kita cukup dengan selalu mendampinginya saja.

Saya jadi kangen Rephan :))


catatan : kata kaskuser no pic=hoax, tapi ini gak hoax sodara-sodara :)). Foto ataupun video belum di share kepada para relawan. Nantikan ya foto-foto eksklusifnya :D

*hahaha macam betul aja awak ini*



Rabu, 27 November 2013

Kelas Inspirasi ... part (2)

Draft tentang Kelas Inspirasi part (2) sebenarnya sudah lama bertengger di chart posting saya. Rencana awal yang ingin menjelaskan detail tentang kegiatan mengajar sehari ini diurungkan saja. Daripada gak selesai-selesai tulisannya, lebih baik puzzle ceritanya saya rombak menjadi satu cerita yang wajib saya bagi untuk semua.

Saya ingin membagikan cerita tentang seorang relawan kelas inspirasi yang satu kelompok dengan saya yaitu Dyah Pratitasari atau yang biasa dipanggil dengan mba prita. Saya menganggap mba prita ini sosok ibu peri yang nyata hadir ke bumi. Kenapa saya berkesimpulan seperti itu? Perhatikan foto-foto berikut








Ada yang menganggap bahwa 1 foto dapat mewakili 1000 kata. Untuk foto-foto di atas saya setuju dengan anggapan tersebut. Tanpa harus saya cerita lebih lanjut lagi, kau pun akan tahu kawan betapa lembutnya hati mba prita ini.

Di kelas yang diajar oleh mba prita, anak-anak diminta untuk latihan pernapasan. Tarik napas dalam-dalam kemudian hembuskan perlahan. Teknik pernapasan tersebut dilakukan berulang-ulang. Untuk para pecinta yoga pasti sudah tidak asing dengan teknik tersebut. Setelah tarikan napas ke-3 atau ke-4, sebagian anak di kelas tersebut sudah tidak bisa menghembuskan napasnya dengan lembut dan perlahan. Mba prita berkesimpulan, eehhmm banyak yang mengganjal di hati anak-anak ini

Akhirnya anak-anak diminta untuk katarsis. Katarsis dalam metode psikologi adalah menghilangkan beban mental seseorang atau menghilangkan ingatan traumatisnya dengan membiarkannya menceritakan semuanya. Anak-anak diminta untuk menuliskan ceritanya yang paling sedih, paling bahagia, ataupun paling membuat dia marah. Kemudian satu per satu maju menceritakannya di depan kelas. Sampai akhirnya salah satu anak dalam foto di atas tampil ke depan kelas. 

Anak dalam foto tersebut bercerita tentang hal yang paling membuat dia marah. Pada awalnya anak tersebut ekspresinya biasa saja. Lambat laun emosi dia terpancing, seakan memori tentang kemarahannya dia hadir di depan muka. Lalu akhirnya anak tersebut menangis juga. Air matanya berderai, sungguh tak tega melihatnya. Ternyata dia mendapat perlakuan kasar di rumah. Jika terjadi sesuatu dengan adiknya, selalu dia yang kena marah. Perbedaan sikap orang tua terhadap dia dan adiknya juga salah satu hal yang memancing kemarahannya. Namun biar bagaimanapun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Masih terlalu kecil untuk mengerti caranya menghentikan perbedaan sikap yang dia terima.

Semoga pelukan yang diberikan oleh mba prita mampu menghangatkan hati dan menguatkan jiwamu ya nak

Jumat, 15 November 2013

[cerbung] Cita-Ci(n)ta



"Gw di depan kostan lo. Keluar sekarang!" 
Tut. Bunyi telepon menutup.

Tidak ada kalimat pembuka. Tak pula diawali dengan ucapan salam. Hanya sebuah kalimat perintah. Suara di seberang sana sungguh tidak sopan. Tapi aku sudah terbiasa dengan sikapnya. Suara pria di seberang sana adalah sahabat saya bernama Arif Priambodo. Ohya aku lupa, perkenalkan aku Miranda Utami.

"Kebiasaan datang ke kostan suka dadakan, kalo gw lagi gak ada di kostan gimana?" omelku seraya membukakan gerbang untuknya.
"Cabut yuk, ke warung kopi Kang Asep" jawabnya tanpa mengindahkan omelanku.
"Bentar gw ganti baju dulu". Saat badan ini hendak berbalik kembali menuju kostan. Tangan kiriku ditarik. Tertahan.
"Udah gak usah repot-repot ganti baju. Kagak bakal ada yang ngeliatin lo juga"

Langkahku terseret-seret, dipaksa berjalan mengikutinya. Oke aku tahu, kita hanya akan pergi ke warung kopi. Tapi setidaknya ijinkan aku untuk tampil lebih rapi. Kombinasi jaket angkatan yang kebesaran dan jeans belel ditambah sendal jepit yang dirasa lebih cocok untuk digunakan saat ke kamar mandi. Dan tahukah kau kawan, jaket yang aku gunakan ini sanggup mengubahku dari manusia menjadi hantu tak bertangan. Bagaimana tidak, aku dapat menyembunyikan seluruh bagian tanganku ke dalam jaket karena ukurannya yang terlalu besar. Sungguh mengerikan!

Warung kopi yang kami tuju sebenarnya warung kopi sederhana tempat berkumpulnya para supir angkot dan beberapa mahasiswa abadi yang sepertinya sedang mencari inspirasi sambil menikmati kopi. Lalu kenapa tadi aku begitu khawatir dengan penampilanku? Iya aku mencemaskan penampilanku karena takut, takut bertemu dia sang pujaan hati. Eits, jangan salah mengartikan kalau si pujaan hati salah satu dari supir angkot atau mahasiswa abadi yang aku sebutkan tadi. Dia, pujaan hati, terkadang singgah ke warung kopi Kang Asep untuk membeli burjo -- bubur kacang ijo. Meskipun judulnya “warung kopi” tapi Kang Asep cukup banyak menghadirkan menu pendamping kopi. Mulai dari mie instan lengkap dengan telur dan gorengannya, bubur kacang ijo, bubur ketan hitam, dan roti bakar.

Letak warung kopi Kang Asep sangat strategis, berada di pinggir jalan dekat pintu masuk kampus kami. Dari warung kopi ini, kami dapat menyaksikan lalu lalang para mahasiswa. Pernah satu waktu, aku dan bodo –panggilan akrab untuk sahabatku-- mengadakan suatu pertandingan. Nama pertandingannya “adu famous”. Kami menghitung berapa banyak orang yang dapat kami sapa selama berada di warung kopi tersebut, yang lebih banyak menyapa/disapa dialah yang lebih terkenal. Tapi kami lupa, sebenarnya aku dan bodo itu kuliah di kampus yang sama, jurusan yang sama dan satu angkatan pula. Otomatis sebagian besar teman kami sama. Teman aku, teman bodo juga. Begitu sebaliknya. Sehingga yang terjadi adalah persaingan adu cepat menyapa, bukan adu banyak. Ha-ha-ha sungguh pertandingan yang tidak penting.

“Kang asep nan kasep, kopi tubruknya satu” ucap bodo sambil memamerkan senyuman.
“Hati-hati kang, kalau udah muji plus senyum cengar-cengir nanti ada udang dibalik bakwan. Ujung-ujungnya mau ngutang” candaku.
Teu nanaon neng. Asal bayar akang mah” sahut Kang Asep ramah.
“Saya mie goreng plus cabe iris ya kang. Biasa”

Sementara Kang Asep membuatkan pesanan, kami memulai sesi curhat hari ini. Arif Priambodo mengawalinya dengan sebuah pertanyaan.

“Impian lo apa pan?” bodo biasa memanggilku panda.
“A..” hanya satu huruf yang dapat terucap, mulutku pun belum terkatup. Aku terdiam selama tiga detik untuk memikirkan jawaban atas pertanyaan bodo tadi. Tapi hening tiga detik itu disambar langsung oleh bodo. Dia kembali mengambil alih pembicaraan. Idih, niat nanya gak sih. Aku membatin.
 
Seorang Arif Priambodo dengan semangat menceritakan impiannya. Dia bermimpi dapat menjadi musisi hebat suatu saat nanti. Impian terbesarnya adalah satu panggung dengan Albert Hammond Jr. Betapa dia mendewa-dewakan permainan gitar Albert Hammond Jr. Menurutnya permainan Albert sederhana, tak banyak menunjukkan keahlian spesial dalam permainannya. Namun semua terdengar pas pada porsinya. Dan tunggulah sampai kau mendengar bagian solo, bunyi gitar datang seperti menghardik anda. Serangan blitzkrieg pentatonik blues minor yang tidak disangka-sangka seperti mencegat telinga, lalu kemudian pergi begitu saja. Tak berhenti disitu, mimpi bodo yang lain adalah memiliki sebuah album. Dimana salah satu lagu dalam album tersebut, dia akan berkolaborasi dengan Dewa Budjana. Panjang lebar bodo menceritakan mimpinya dan akulah saksi dari sebuah deklarasi mimpi Arif Priambodo. Mendengar bodo semangat bercerita dan menyaksikan binar yang terpancar dari matanya, mimpi itu terasa dekat dan nyata. Selagi dia bercerita, dalam hati aku mengucap doa. Semoga malaikat merengkuh mimpi-mimpi kita dan menyampaikannya kepada Sang Pencipta sehingga mimpi itu berubah menjadi nyata.

"Kalo impian lo apa pan?" tanyanya sambil menoleh ke arahku.
"Masih inget lo gw ada di sini!"
"Ha-ha tadi di awal gw udah nanya ini ke lo yak. Iya maaf, gw jadi pendengar sekarang. Cita-citamu apa Miranda Utami?" tanyanya manis sekali.
"Cita-cita gw. Sejujurnya gw belum tahu ingin menjadi apa." jawabku jujur.

Aku tidak seperti susan yang sudah tahu cita-citanya semenjak kecil. Ingin menjadi dokter supaya bisa njus-njus (baca:suntik) orang lewat. Prinsipku adalah daily bases, syukuri dan lakukan yang terbaik setiap hari. Skenario hidup telah dibentuk, tugas kita cukup dengan menjadi pemeran yang baik. Karena aku percaya ketetapan-Nya adalah yang terbaik.

"Tapi setidaknya gw tahu apa yang gw suka. Gw suka ngajar anak-anak. Sepertinya bahagia menjadi seorang guru TK" jelasku kepada bodo dengan senyumku menyeringai. Bodo membalas senyumku dengan senyum simpulnya. Manis sekali. Oh sahabatku, seandainya kamu selalu bersikap manis seperti ini  tak akan ada pertikaian antara kita. Perlahan lengkungan senyum bodo berubah dari senyum simpul yang manis menjadi seringai senyum yang nakal. "He-he" tawa singkatnya bernada bass terdengar olehku. Oh tidak, aku curiga. Dan tak lama kemudian.

"Damar" sapa bodo kepada pria di seberang sana. Ah sial, kecemasanku di awal terjawab sudah. Iya damar yang memiliki nama lengkap Agathis Dammara adalah pujaan hatiku. Ya Tuhan, kenapa harus sekarang aku bertemu dengan damar disaat penampilanku kucel seperti ini. Teriakku dalam hati.

Aku langsung melayangkan protes ke bodo. "Kenapa dipanggil ke sini!"
"He-he" seringai jahatnya terkembang lagi.
"Hei lagi ngapain? Kalian akrab banget" damar sudah berdiri di belakangku.
"Nih, si panda nyariin lo mar". Usilnya sahabatku, rasanya ingin aku jambak rambutnya.
"Panda?" tanya damar heran.
"Mie-Panda Utami alias tami. Ini bocahnya. Bocah gendut yang sukanya makan mie, cocok dipanggil panda. Ha-ha-ha-ha" tawa bodo terdengar lepas dan puas. Saat bodo puas tertawa, akupun puas merutuki diriku sendiri. Kenapa tadi aku rela saja diseret-seret ke warung kopi.
"Oh maksudnya tami. Ada apa tami?" damar menoleh ke arahku. Oh baik hati sekali pria ini, dia tidak menghiraukan candaan dari orang usil bernama Arif Priambodo. Memang tidak salah aku memilihnya menjadi pujaan hati. Akupun semakin jatuh hati.
"Eh gak ada apa-apa. Si bodo...eh..maksudnya arif iseng aja" jawabku gelagapan.
"Ooh..kalo gitu gw duluan ya, lagi buru-buru mau ke kampus". Damar membalikkan badannya, berjalan menjauhi kami.

Saat posisi sudah aman dan damar tidak terlihat lagi. Aku segera beraksi, memukul-mukul lengan bodo sambil mencubit-cubitnya. Gemas. Geram lebih tepatnya. Memang diperlukan kesabaran ekstra untuk bisa tetap berteman denganya. Tapi percayalah kawan, jauh dilubuk hatinya Arif Priambodo adalah orang yang baik sekali. Rela berkorban. Aku pernah membuktikan kebaikan hatinya.

Waktu itu...


[bersambung]