Jumat, 27 Desember 2013

[cerbung] Cita-Ci(n)ta ... (2)



Waktu itu liburan semester telah tiba. Sebagian besar mahasiswa kembali ke kampung halamannya termasuk seluruh penghuni kostan melati kecuali aku. Aku terpaksa menunda kepulanganku satu hari karena ada pekerjaan sampingan yang harus aku selesaikan. Tinggallah aku sendiri di kostan berlantai dua yang memiliki daya tampung 20 mahasiswi ini. Terasa sepi dan sunyi. Untuk mengusir keheningan aku menyalakan radio dengan volume maksimal. Ikut bersenandung tralala trilili tapi tetap saja rasanya sunyi. Ah rasanya gawat kalau aku terus-terusan merasa paranoid seperti ini, bisa-bisa tidak bisa tidur malam ini. Aku putuskan untuk keluar kostan dan berjalan kaki sampai kelelahan. Setelah lelah dan rasa kantuk itu datang barulah aku kembali ke kostan. Langsung menuju tempat tidur tanpa cuci kaki ataupun sikat gigi. Sebelum terlelap aku mengirimkan pesan singkat ke Bodo. Bodo juga menunda kepulangannya satu hari karena mengerjakan pekerjaan sampingan yang sama denganku.

“Do, kerjaan lo udah beres? Hehe basa-basi banget ya gw nanyain kerjaan jam segini. Do, gw parno nih malam ini di kostan sendiri.”

Pesan itu aku kirimkan bukan untuk mengharapkan sebuah balasan. Hanya ingin berbagi cerita saja, bahwa aku sahabatnya yang dianggap pemberani bisa juga ketakutan.

Matahari pagi sudah mulai menyingsing. Alarm jamku juga sudah berbunyi. Perlahan aku membuka mata dan ternyata sudah pagi. Tak kusangka bisa juga aku tidur nyenyak malam tadi. Aku paksakan kaki untuk berjalan keluar kamar menuju kamar mandi. Selangkah lagi menuju kamar mandi aku baru ingat, handukku ada di luar. Aku seret langkah kaki menuju keluar kostan.

Sesampainya di depan pintu kostan, terlonjak kaget aku dibuat oleh sosok yang sedang bergelung dengan kain sarung. Aku dekati sosok tersebut sambil bertanya-tanya siapa dia yang sedang tidur di depan teras kostan melati. Ya ampun, ternyata sosok yang sedang tertidur di teras dengan kain sarung hitam menyelubungi itu adalah Bodo. Spontan aku langsung membangunkan dia.

“Hei, ngapain lo ada di sini? koq bisa tidur di depan sini?” tanyaku.

Bodo sudah terusik dengan ocehanku. Dia menggeliat ke kanan dan ke kiri. Seperti seorang anak kecil yang sedang dibangunkan ibunya untuk berangkat ke sekolah. Mencari-cari alasan untuk tetap diijinkan terpejam 5 menit lagi. Tingkahnya membuat aku ingin tersenyum. Tak lama kemudian Bodo membuka matanya sambil membalikkan badan ke arahku yang sedang duduk di samping kirinya.

“Bisa tidur gak lo semalam?” tanya Bodo sambil berusaha membuka penuh matanya. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. “Udah ah, gw mau lanjut tidur lagi. Lo ganggu gw aja” ucapnya dengan nada sedikit kesal. Dan aku masih tetap tersenyum. Bodo bangkit dari kursi tempat dia tidur, mengalungkan sarungnya dan kakinya menggapai-gapai mencari sepasang sandal. Dia berjalan perlahan dan memunggungiku yang masih terduduk dan tersenyum. Sebelum punggungnya semakin jauh, aku pun bersuara setengah berteriak.

“Do jadi lo ngejagain gw semalam” nada senangku jelas terdengar. Bodo tetap melangkah menjauh. Tanpa berbalik badan dia menjawab, “Gak usah ge-er”. Aku tetap terduduk dan tersenyum. Bahkan saat sekarang aku mengenang kejadian itu, posisi dan ekspresiku masih sama. Terduduk dan tersenyum.

“Tambah minumannya lagi, Bu?”. Suara pramusaji membuyarkan lamunanku. Lamunan atas kenangan-kenanganku saat bersama Bodo. Aku menggeleng perlahan kepada pramusaji itu. Sebagai bentuk jawaban tidak atas tawarannya.

Saat ini aku sedang berada di kedai kopi yang terletak dibilangan Jakarta Pusat. Dua gelas teh tarik telah tandas aku minum sambil menanti seseorang datang. Orang yang aku nanti bukan terlambat datang, tetapi aku yang memilih datang satu jam lebih awal. Aku ingin memberikan ruang untuk memori itu bangkit lagi. Iya, orang yang aku nanti adalah Bodo.

Kedai kopi tempat kami bertemu hari ini tidak seperti warung kopi kang asep tempat kami nongkrong sewaktu kuliah dulu. Tempatnya lebih mewah dengan ornamen bergaya vintage dan dinding kaca yang menyelubungi seluruh ruangan. Sehingga aku bisa melihat lalu lalang orang di depan sana. Meskipun kedai kopi ini lebih mewah dan menu yang ditawarkan lebih beragam, namun aku tidak menjamin kedai kopi ini lebih nyaman dari warung kopi kang asep. Dengan segala keterbatasan yang ada di warung kopi kang asep, aku tetap merasa warung kopi kang asep lebih nyaman dan lebih hangat. Senyuman yang diberikan kang asep lebih tulus dibanding senyuman pramusaji kedai kopi ini. Senyuman pramusaji hanya akan mengembang jika kau mengeluarkan uang. Tapi sayangnya aku dan Bodo tidak bisa lagi sering-sering ke warung kopi kang asep. Karena tempatku bekerja berbeda kota dengan warung kopi kang asep.

Hari ini aku akan bertemu lagi dengan bodo setelah satu tahun kami memutuskan untuk tidak saling bertukar kabar. Keputusan ini dibuat karena tiap pertemuan aku dan bodo hanya saling melemparkan keluhan satu sama lain. Tiga tahun selepas kelulusan kami, hidup kami seakan hanya dihinggapi keluhan. Bodo yang selalu mengeluh tentang betapa menjemukannya menjadi seorang bankir. Dan aku yang selalu merutuki klien yang merampas waktu luangku.

Sebulan setelah wisuda, bodo mendapat pekerjaan sebagai treasury di salah satu bank swasta terkenal di Indonesia. Satu sisi aku gembira dia mendapat posisi itu namun sisi lainnya aku bertanya-tanya, lupakah dia dengan mimpinya? Aku pun pernah menanyakan langsung kepadanya tentang impiannya menjadi musisi hebat. Dan bodo hanya menyunggingkan senyum yang dipaksakan ada. Sisi egoisku menyimpulkan bahwa bodo orang yang pasrah. Tidak mau memperjuangkan cita-citanya. Namun akhirnya bodo memberi pengertian bahwa semakin kau bertambah usia kau akan mengerti kehadiranmu di bumi bukan hanya untuk memenuhi keinginan sendiri. Meskipun kalimat ikhlas itu keluar dari mulutnya sendiri, namun menjalankannya tidak semudah mengucapkannya. Terbukti dari binar mata bodo yang semakin redup dari hari ke hari. Tapi apa yang lebih baik dilakukan oleh seorang anak yatim yang menanggung beban pendidikan dua adiknya?

Dan tentang aku, keluhanku berbeda dengan bodo. Tentu bukan karena aku menjalani pekerjaan yang tidak sesuai passion. Prinsipku masih sama yaitu daily bases. Untuk itu aku meng-apply setiap lowongan pekerjaan yang masuk ke mailing list. Dua bulan setelah wisuda aku mendapat pekerjaan menjadi measurement science di sebuah perusahaan riset pemasaran. Sebagai sebuah perusahaan riset pemasaran berskala multinasional tentu saja klien yang dimiliki adalah klien-klien kelas kakap. Project yang dikerjakan sebagian besar project berskala nasional. Terdengar hebat? Tapi tunggulah sampai kau tahu betapa waktumu akan terampas oleh para klien. Aku selalu merutuki akhir pekanku yang selalu dirampas untuk mempersiapkan bahan presentasi yang wajib selesai senin pagi. Sampai ada anekdot di tempat aku bekerja, bahwa kalender yang kami miliki hitam semua tak ada tanggal merah. Kantorku menjadi penjara untuk diriku sendiri.

Aku dan bodo seperti jiwa-jiwa hampa yang berjalan setiap pagi. Lalu berganti menjadi jiwa-jiwa lelah yang pulang setiap malam. Sampai aku dan bodo berkelakar, bahwa seseorang telah meminum ramuan polyjus dengan ekstrak rambut kami dan menjalani kehidupan kosong setiap hari. Arif Priambodo dan Miranda Utami yang asli entah sedang disembunyikan dimana.

“Woi, ngelamun aja!”. Seseorang meneriakiku sambil mendorong lembut pundak kiriku. Aku mengenali suara pria itu. Iya itu suara milik arif praimbodo. Aku terlonjak histeris melihatnya. Ada perasaan rindu dan haru akhirnya bisa bertemu dengan sahabatku lagi.

“Waahh..kangen gw do!” ucapku semringah.
“Udah dua gelas aja nih di depan gw. Hayo ngaku lo tadi ketemuan sama siapa dulu?” tanya bodo usil.
“Ha-ha gw datang satu jam lebih awal tahu. Soalnya pengen mengenang masa lalu kita. Gw kangen banget tahu do sama lo. Gak kangen apa lo sama gw?” jawabku sambil terkekeh.
“Iye sama” jawab bodo sekenanya.
“Eh gw punya kabar gembira pan. Akhirnya gw resign dari bank” ucap bodo dengan bahagia. Tak pelak akupun ikut bahagia. Dan aku menemukan kembali binar mata bodo. Akhirnya Arif Priambodo yang asli telah kembali. Ramuan polyjus entah apalah itu.

Bodo menceritakan tentang dirinya yang akhirnya resign. Keputusan bodo untuk keluar dari bank ternyata bukan atas kehendak diri sendiri. Memang selama ini dia tidak menikmati menjadi seorang bankir. Namun mengingat tanggung jawabnya yang menjadi tulang punggung keluarga, bodo menepis jauh-jauh keinginan itu. Sampai suatu hari, ibunya mendatangi bodo. Ibu bodo berpikir sudah terlalu banyak yang bodo lakukan untuk keluarga, untuk ibu dan kedua adiknya. Sudah saatnya bodo untuk memikirkan diri sendiri. Tentang ketidakbahagiaan bodo menjadi seorang bankir, ibu bodo sudah tahu itu sejak lama. Namun waktu itu tidak ada pilihan lain untuk ibu bodo membiarkan putranya mengambil peran seorang ayah yaitu menafkahi keluarga. Saat ini kedua adiknya sudah bisa mandiri. Sudah saatnya bodo mengejar impiannya. Restu ibu sudah ditangan, untuk apa lagi ragu melangkah!

Lain halnya dengan bodo, aku tidak memilih jalan resign. Aku tahu bahwa kantorku memiliki jam kerja yang over time. Tapi tidak ada niatan resign dalam otakku. Selama setahun terakhir ini aku berusaha memperbaiki sikapku dan pikiranku. Jika dulu tiap tambahan jam kerja yang diminta klien akan aku hadapi dengan kutukan dan sumpah serapah. Maka sekarang aku mencoba mulai berubah dengan berpikiran lebih positif. Menganggapnya sebagai suatu berkah. Setiap pekerjaan yang aku selesaikan aku anggap sebagai suatu karya. Lambat laun pikiran positif ini mulai menunjukkan efeknya. Aku merasa lebih bahagia. Menanamkan rasa syukur atas apa yang kita terima membuatku lebih bahagia. Cara yang aku terapkan ini memang bukan jalan instan. Seperti meminum jamu, kamu harus rutin mengkonsumsinya tiap hari agar merasakan manfaatnya dikemudian hari.
  
Aku dan bodo punya cara yang berbeda, tapi kami bermuara pada sungai yang sama. Bahagia.

“Ternyata teori lo bener ya do. Kalo ion negatif berkumpul dengan ion negatif, hanya akan mengundang ion negatif lainnya. Untung setahun yang lalu kita berani untuk memutuskan tidak saling bertukar kabar dulu. Akhirnya selama perpisahan ini, kita menemukan penetralisir yang dibutuhkan yaitu ion positif.” Kesimpulanku atas sesi curhat yang panjang hari ini.

“Iyalah bener. Teorinya Profesor Arif Priambodo gitu. Eh lo masih inget damar gak pan?”
Napasku tertahan mendengar kalimat yang diucapkan bodo.
“15 menit lagi damar nyampe ke tempat ini. Gw ngundang dia untuk gabung dengan kita malam ini.” Ucap bodo dengan nada santai. Tapi aku terbatuk-batuk mendengar kalimat terakhirnya.

[bersambung]

catatan :
Ramuan polyjus adalah salah satu ramuan yang ada dalam serial Harry Potter. Ramuan ini digunakan untuk transfigurasi, memungkinkan peminumnya dapat berubah bentuk menjadi orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar