Waktu itu liburan semester telah tiba. Sebagian
besar mahasiswa kembali ke kampung halamannya termasuk seluruh penghuni kostan
melati kecuali aku. Aku terpaksa menunda kepulanganku satu hari karena ada
pekerjaan sampingan yang harus aku selesaikan. Tinggallah aku sendiri di kostan
berlantai dua yang memiliki daya tampung 20 mahasiswi ini. Terasa sepi dan
sunyi. Untuk mengusir keheningan aku menyalakan radio dengan volume
maksimal. Ikut bersenandung tralala trilili tapi tetap saja rasanya sunyi. Ah
rasanya gawat kalau aku terus-terusan merasa paranoid seperti ini, bisa-bisa
tidak bisa tidur malam ini. Aku putuskan untuk keluar kostan dan berjalan kaki
sampai kelelahan. Setelah lelah dan rasa kantuk itu datang barulah aku kembali
ke kostan. Langsung menuju tempat tidur tanpa cuci kaki ataupun sikat
gigi. Sebelum terlelap aku mengirimkan pesan singkat ke Bodo. Bodo juga menunda
kepulangannya satu hari karena mengerjakan pekerjaan sampingan yang sama
denganku.
“Do, kerjaan lo udah beres? Hehe basa-basi banget ya
gw nanyain kerjaan jam segini. Do, gw parno nih malam ini di kostan sendiri.”
Pesan itu aku kirimkan bukan untuk mengharapkan
sebuah balasan. Hanya ingin berbagi cerita saja, bahwa aku sahabatnya yang
dianggap pemberani bisa juga ketakutan.
Matahari pagi sudah mulai menyingsing. Alarm jamku
juga sudah berbunyi. Perlahan aku membuka mata dan ternyata sudah pagi. Tak
kusangka bisa juga aku tidur nyenyak malam tadi. Aku paksakan kaki untuk
berjalan keluar kamar menuju kamar mandi. Selangkah lagi menuju kamar mandi aku
baru ingat, handukku ada di luar. Aku seret langkah kaki menuju keluar kostan.
Sesampainya di depan pintu kostan, terlonjak kaget
aku dibuat oleh sosok yang sedang bergelung dengan kain sarung. Aku dekati
sosok tersebut sambil bertanya-tanya siapa dia yang sedang tidur di depan teras
kostan melati. Ya ampun, ternyata sosok yang sedang tertidur di teras dengan
kain sarung hitam menyelubungi itu adalah Bodo. Spontan aku langsung
membangunkan dia.
“Hei, ngapain lo ada di sini? koq bisa tidur di
depan sini?” tanyaku.
Bodo sudah terusik dengan ocehanku. Dia menggeliat
ke kanan dan ke kiri. Seperti seorang anak kecil yang sedang dibangunkan ibunya
untuk berangkat ke sekolah. Mencari-cari alasan untuk tetap diijinkan terpejam 5
menit lagi. Tingkahnya membuat aku ingin tersenyum. Tak lama kemudian Bodo
membuka matanya sambil membalikkan badan ke arahku yang sedang duduk di samping
kirinya.
“Bisa tidur gak lo semalam?” tanya Bodo sambil
berusaha membuka penuh matanya. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. “Udah ah,
gw mau lanjut tidur lagi. Lo ganggu gw aja” ucapnya dengan nada sedikit kesal.
Dan aku masih tetap tersenyum. Bodo bangkit dari kursi tempat dia tidur,
mengalungkan sarungnya dan kakinya menggapai-gapai mencari sepasang sandal. Dia
berjalan perlahan dan memunggungiku yang masih terduduk dan tersenyum. Sebelum
punggungnya semakin jauh, aku pun bersuara setengah berteriak.
“Do jadi lo ngejagain gw semalam” nada senangku
jelas terdengar. Bodo tetap melangkah menjauh. Tanpa berbalik badan dia
menjawab, “Gak usah ge-er”. Aku tetap terduduk dan tersenyum. Bahkan saat
sekarang aku mengenang kejadian itu, posisi dan ekspresiku masih sama. Terduduk
dan tersenyum.
“Tambah minumannya lagi, Bu?”. Suara pramusaji
membuyarkan lamunanku. Lamunan atas kenangan-kenanganku saat bersama Bodo. Aku
menggeleng perlahan kepada pramusaji itu. Sebagai bentuk jawaban tidak atas
tawarannya.
Saat ini aku sedang berada di kedai kopi yang
terletak dibilangan Jakarta Pusat. Dua gelas teh tarik telah tandas aku minum
sambil menanti seseorang datang. Orang yang aku nanti bukan terlambat datang,
tetapi aku yang memilih datang satu jam lebih awal. Aku ingin memberikan ruang
untuk memori itu bangkit lagi. Iya, orang yang aku nanti adalah Bodo.
Kedai kopi tempat kami bertemu hari ini tidak
seperti warung kopi kang asep tempat kami nongkrong
sewaktu kuliah dulu. Tempatnya lebih mewah dengan ornamen bergaya vintage dan
dinding kaca yang menyelubungi seluruh ruangan. Sehingga aku bisa melihat lalu
lalang orang di depan sana. Meskipun kedai kopi ini lebih mewah dan menu yang
ditawarkan lebih beragam, namun aku tidak menjamin kedai kopi ini lebih nyaman
dari warung kopi kang asep. Dengan segala keterbatasan yang ada di warung kopi
kang asep, aku tetap merasa warung kopi kang asep lebih nyaman dan lebih
hangat. Senyuman yang diberikan kang asep lebih tulus dibanding senyuman
pramusaji kedai kopi ini. Senyuman pramusaji hanya akan mengembang jika kau
mengeluarkan uang. Tapi sayangnya aku dan Bodo tidak bisa lagi sering-sering ke
warung kopi kang asep. Karena tempatku bekerja berbeda kota dengan warung kopi
kang asep.
Hari ini aku akan bertemu lagi dengan bodo setelah
satu tahun kami memutuskan untuk tidak saling bertukar kabar. Keputusan ini
dibuat karena tiap pertemuan aku
dan bodo hanya saling melemparkan keluhan satu sama lain. Tiga tahun selepas
kelulusan kami, hidup
kami seakan hanya dihinggapi keluhan. Bodo yang selalu mengeluh tentang betapa
menjemukannya menjadi seorang bankir. Dan aku yang selalu merutuki klien yang
merampas waktu luangku.
Sebulan setelah wisuda, bodo mendapat pekerjaan sebagai
treasury di salah satu bank swasta terkenal di Indonesia. Satu sisi aku gembira
dia mendapat posisi itu namun sisi lainnya aku bertanya-tanya, lupakah dia
dengan mimpinya? Aku pun pernah menanyakan langsung kepadanya tentang
impiannya menjadi musisi hebat. Dan bodo hanya menyunggingkan senyum yang
dipaksakan ada. Sisi egoisku menyimpulkan bahwa bodo orang yang pasrah. Tidak
mau memperjuangkan cita-citanya. Namun akhirnya bodo memberi pengertian bahwa
semakin kau bertambah usia kau akan mengerti kehadiranmu di bumi bukan hanya untuk
memenuhi keinginan sendiri. Meskipun kalimat ikhlas itu keluar dari mulutnya
sendiri, namun menjalankannya tidak semudah mengucapkannya. Terbukti dari binar
mata bodo yang semakin redup dari hari ke hari. Tapi apa yang lebih baik
dilakukan oleh seorang anak yatim yang menanggung beban pendidikan dua adiknya?
Dan tentang aku, keluhanku berbeda dengan bodo. Tentu
bukan karena aku menjalani pekerjaan yang tidak sesuai passion. Prinsipku masih sama yaitu daily bases. Untuk itu aku meng-apply
setiap lowongan pekerjaan yang masuk ke mailing
list. Dua bulan setelah wisuda aku mendapat pekerjaan menjadi measurement science di sebuah perusahaan
riset pemasaran. Sebagai sebuah perusahaan riset pemasaran berskala
multinasional tentu saja klien yang dimiliki adalah klien-klien kelas kakap. Project
yang dikerjakan sebagian besar project berskala nasional. Terdengar hebat?
Tapi tunggulah sampai kau tahu betapa waktumu akan terampas oleh para klien.
Aku selalu merutuki akhir pekanku yang selalu dirampas untuk mempersiapkan
bahan presentasi yang wajib selesai senin pagi. Sampai ada anekdot di tempat
aku bekerja, bahwa kalender yang kami miliki hitam semua tak ada tanggal merah.
Kantorku menjadi penjara untuk diriku sendiri.
Aku dan bodo seperti jiwa-jiwa hampa yang berjalan setiap
pagi. Lalu berganti menjadi jiwa-jiwa lelah yang pulang setiap malam. Sampai aku
dan bodo berkelakar, bahwa seseorang telah meminum ramuan polyjus dengan ekstrak rambut kami dan menjalani kehidupan kosong
setiap hari. Arif Priambodo dan Miranda Utami yang asli entah sedang disembunyikan
dimana.
“Woi, ngelamun aja!”. Seseorang meneriakiku sambil
mendorong lembut pundak kiriku. Aku mengenali suara pria itu. Iya itu suara
milik arif praimbodo. Aku terlonjak histeris melihatnya. Ada perasaan rindu dan
haru akhirnya bisa bertemu dengan sahabatku lagi.
“Waahh..kangen gw do!” ucapku semringah.
“Udah dua gelas aja nih di depan gw. Hayo ngaku lo tadi
ketemuan sama siapa dulu?” tanya bodo usil.
“Ha-ha gw datang satu jam lebih awal tahu. Soalnya pengen
mengenang masa lalu kita. Gw kangen banget tahu do sama lo. Gak kangen apa lo
sama gw?” jawabku sambil terkekeh.
“Iye sama” jawab bodo sekenanya.
“Eh gw punya kabar gembira pan. Akhirnya gw resign dari
bank” ucap bodo dengan bahagia. Tak pelak akupun ikut bahagia. Dan aku
menemukan kembali binar mata bodo. Akhirnya Arif Priambodo yang asli telah
kembali. Ramuan polyjus entah apalah
itu.
Bodo menceritakan tentang dirinya yang akhirnya resign.
Keputusan bodo untuk keluar dari bank ternyata bukan atas kehendak diri
sendiri. Memang selama ini dia tidak menikmati menjadi seorang bankir. Namun mengingat
tanggung jawabnya yang menjadi tulang punggung keluarga, bodo menepis jauh-jauh
keinginan itu. Sampai suatu hari, ibunya mendatangi bodo. Ibu bodo berpikir
sudah terlalu banyak yang bodo lakukan untuk keluarga, untuk ibu dan kedua
adiknya. Sudah saatnya bodo untuk memikirkan diri sendiri. Tentang ketidakbahagiaan
bodo menjadi seorang bankir, ibu bodo sudah tahu itu sejak lama. Namun waktu
itu tidak ada pilihan lain untuk ibu bodo membiarkan putranya mengambil peran
seorang ayah yaitu menafkahi keluarga. Saat ini kedua adiknya sudah bisa
mandiri. Sudah saatnya bodo mengejar impiannya. Restu ibu sudah ditangan, untuk
apa lagi ragu melangkah!
Lain halnya dengan bodo, aku tidak memilih jalan resign.
Aku tahu bahwa kantorku memiliki jam kerja yang over time. Tapi tidak ada niatan resign dalam otakku. Selama
setahun terakhir ini aku berusaha memperbaiki sikapku dan pikiranku. Jika dulu
tiap tambahan jam kerja yang diminta klien akan aku hadapi dengan kutukan dan
sumpah serapah. Maka sekarang aku mencoba mulai berubah dengan berpikiran lebih
positif. Menganggapnya sebagai suatu berkah. Setiap pekerjaan yang aku
selesaikan aku anggap sebagai suatu karya. Lambat laun pikiran positif ini
mulai menunjukkan efeknya. Aku merasa lebih bahagia. Menanamkan rasa syukur
atas apa yang kita terima membuatku lebih bahagia. Cara yang aku terapkan ini
memang bukan jalan instan. Seperti meminum jamu, kamu harus rutin
mengkonsumsinya tiap hari agar merasakan manfaatnya dikemudian hari.
Aku dan bodo punya cara yang berbeda, tapi kami bermuara
pada sungai yang sama. Bahagia.
“Ternyata teori lo bener ya do. Kalo ion negatif
berkumpul dengan ion negatif, hanya akan mengundang ion negatif lainnya. Untung
setahun yang lalu kita berani untuk memutuskan tidak saling bertukar kabar
dulu. Akhirnya selama perpisahan ini, kita menemukan penetralisir yang
dibutuhkan yaitu ion positif.” Kesimpulanku atas sesi curhat yang panjang hari
ini.
“Iyalah bener. Teorinya Profesor Arif Priambodo gitu. Eh
lo masih inget damar gak pan?”
Napasku tertahan mendengar kalimat yang diucapkan bodo.
“15 menit lagi damar nyampe ke tempat ini. Gw ngundang
dia untuk gabung dengan kita malam ini.” Ucap bodo dengan nada santai. Tapi aku
terbatuk-batuk mendengar kalimat terakhirnya.
[bersambung]
catatan :
Ramuan polyjus adalah salah satu ramuan yang ada dalam serial Harry Potter. Ramuan ini digunakan untuk transfigurasi, memungkinkan peminumnya dapat berubah bentuk menjadi orang lain.
catatan :
Ramuan polyjus adalah salah satu ramuan yang ada dalam serial Harry Potter. Ramuan ini digunakan untuk transfigurasi, memungkinkan peminumnya dapat berubah bentuk menjadi orang lain.