Jumat, 15 November 2013

[cerbung] Cita-Ci(n)ta



"Gw di depan kostan lo. Keluar sekarang!" 
Tut. Bunyi telepon menutup.

Tidak ada kalimat pembuka. Tak pula diawali dengan ucapan salam. Hanya sebuah kalimat perintah. Suara di seberang sana sungguh tidak sopan. Tapi aku sudah terbiasa dengan sikapnya. Suara pria di seberang sana adalah sahabat saya bernama Arif Priambodo. Ohya aku lupa, perkenalkan aku Miranda Utami.

"Kebiasaan datang ke kostan suka dadakan, kalo gw lagi gak ada di kostan gimana?" omelku seraya membukakan gerbang untuknya.
"Cabut yuk, ke warung kopi Kang Asep" jawabnya tanpa mengindahkan omelanku.
"Bentar gw ganti baju dulu". Saat badan ini hendak berbalik kembali menuju kostan. Tangan kiriku ditarik. Tertahan.
"Udah gak usah repot-repot ganti baju. Kagak bakal ada yang ngeliatin lo juga"

Langkahku terseret-seret, dipaksa berjalan mengikutinya. Oke aku tahu, kita hanya akan pergi ke warung kopi. Tapi setidaknya ijinkan aku untuk tampil lebih rapi. Kombinasi jaket angkatan yang kebesaran dan jeans belel ditambah sendal jepit yang dirasa lebih cocok untuk digunakan saat ke kamar mandi. Dan tahukah kau kawan, jaket yang aku gunakan ini sanggup mengubahku dari manusia menjadi hantu tak bertangan. Bagaimana tidak, aku dapat menyembunyikan seluruh bagian tanganku ke dalam jaket karena ukurannya yang terlalu besar. Sungguh mengerikan!

Warung kopi yang kami tuju sebenarnya warung kopi sederhana tempat berkumpulnya para supir angkot dan beberapa mahasiswa abadi yang sepertinya sedang mencari inspirasi sambil menikmati kopi. Lalu kenapa tadi aku begitu khawatir dengan penampilanku? Iya aku mencemaskan penampilanku karena takut, takut bertemu dia sang pujaan hati. Eits, jangan salah mengartikan kalau si pujaan hati salah satu dari supir angkot atau mahasiswa abadi yang aku sebutkan tadi. Dia, pujaan hati, terkadang singgah ke warung kopi Kang Asep untuk membeli burjo -- bubur kacang ijo. Meskipun judulnya “warung kopi” tapi Kang Asep cukup banyak menghadirkan menu pendamping kopi. Mulai dari mie instan lengkap dengan telur dan gorengannya, bubur kacang ijo, bubur ketan hitam, dan roti bakar.

Letak warung kopi Kang Asep sangat strategis, berada di pinggir jalan dekat pintu masuk kampus kami. Dari warung kopi ini, kami dapat menyaksikan lalu lalang para mahasiswa. Pernah satu waktu, aku dan bodo –panggilan akrab untuk sahabatku-- mengadakan suatu pertandingan. Nama pertandingannya “adu famous”. Kami menghitung berapa banyak orang yang dapat kami sapa selama berada di warung kopi tersebut, yang lebih banyak menyapa/disapa dialah yang lebih terkenal. Tapi kami lupa, sebenarnya aku dan bodo itu kuliah di kampus yang sama, jurusan yang sama dan satu angkatan pula. Otomatis sebagian besar teman kami sama. Teman aku, teman bodo juga. Begitu sebaliknya. Sehingga yang terjadi adalah persaingan adu cepat menyapa, bukan adu banyak. Ha-ha-ha sungguh pertandingan yang tidak penting.

“Kang asep nan kasep, kopi tubruknya satu” ucap bodo sambil memamerkan senyuman.
“Hati-hati kang, kalau udah muji plus senyum cengar-cengir nanti ada udang dibalik bakwan. Ujung-ujungnya mau ngutang” candaku.
Teu nanaon neng. Asal bayar akang mah” sahut Kang Asep ramah.
“Saya mie goreng plus cabe iris ya kang. Biasa”

Sementara Kang Asep membuatkan pesanan, kami memulai sesi curhat hari ini. Arif Priambodo mengawalinya dengan sebuah pertanyaan.

“Impian lo apa pan?” bodo biasa memanggilku panda.
“A..” hanya satu huruf yang dapat terucap, mulutku pun belum terkatup. Aku terdiam selama tiga detik untuk memikirkan jawaban atas pertanyaan bodo tadi. Tapi hening tiga detik itu disambar langsung oleh bodo. Dia kembali mengambil alih pembicaraan. Idih, niat nanya gak sih. Aku membatin.
 
Seorang Arif Priambodo dengan semangat menceritakan impiannya. Dia bermimpi dapat menjadi musisi hebat suatu saat nanti. Impian terbesarnya adalah satu panggung dengan Albert Hammond Jr. Betapa dia mendewa-dewakan permainan gitar Albert Hammond Jr. Menurutnya permainan Albert sederhana, tak banyak menunjukkan keahlian spesial dalam permainannya. Namun semua terdengar pas pada porsinya. Dan tunggulah sampai kau mendengar bagian solo, bunyi gitar datang seperti menghardik anda. Serangan blitzkrieg pentatonik blues minor yang tidak disangka-sangka seperti mencegat telinga, lalu kemudian pergi begitu saja. Tak berhenti disitu, mimpi bodo yang lain adalah memiliki sebuah album. Dimana salah satu lagu dalam album tersebut, dia akan berkolaborasi dengan Dewa Budjana. Panjang lebar bodo menceritakan mimpinya dan akulah saksi dari sebuah deklarasi mimpi Arif Priambodo. Mendengar bodo semangat bercerita dan menyaksikan binar yang terpancar dari matanya, mimpi itu terasa dekat dan nyata. Selagi dia bercerita, dalam hati aku mengucap doa. Semoga malaikat merengkuh mimpi-mimpi kita dan menyampaikannya kepada Sang Pencipta sehingga mimpi itu berubah menjadi nyata.

"Kalo impian lo apa pan?" tanyanya sambil menoleh ke arahku.
"Masih inget lo gw ada di sini!"
"Ha-ha tadi di awal gw udah nanya ini ke lo yak. Iya maaf, gw jadi pendengar sekarang. Cita-citamu apa Miranda Utami?" tanyanya manis sekali.
"Cita-cita gw. Sejujurnya gw belum tahu ingin menjadi apa." jawabku jujur.

Aku tidak seperti susan yang sudah tahu cita-citanya semenjak kecil. Ingin menjadi dokter supaya bisa njus-njus (baca:suntik) orang lewat. Prinsipku adalah daily bases, syukuri dan lakukan yang terbaik setiap hari. Skenario hidup telah dibentuk, tugas kita cukup dengan menjadi pemeran yang baik. Karena aku percaya ketetapan-Nya adalah yang terbaik.

"Tapi setidaknya gw tahu apa yang gw suka. Gw suka ngajar anak-anak. Sepertinya bahagia menjadi seorang guru TK" jelasku kepada bodo dengan senyumku menyeringai. Bodo membalas senyumku dengan senyum simpulnya. Manis sekali. Oh sahabatku, seandainya kamu selalu bersikap manis seperti ini  tak akan ada pertikaian antara kita. Perlahan lengkungan senyum bodo berubah dari senyum simpul yang manis menjadi seringai senyum yang nakal. "He-he" tawa singkatnya bernada bass terdengar olehku. Oh tidak, aku curiga. Dan tak lama kemudian.

"Damar" sapa bodo kepada pria di seberang sana. Ah sial, kecemasanku di awal terjawab sudah. Iya damar yang memiliki nama lengkap Agathis Dammara adalah pujaan hatiku. Ya Tuhan, kenapa harus sekarang aku bertemu dengan damar disaat penampilanku kucel seperti ini. Teriakku dalam hati.

Aku langsung melayangkan protes ke bodo. "Kenapa dipanggil ke sini!"
"He-he" seringai jahatnya terkembang lagi.
"Hei lagi ngapain? Kalian akrab banget" damar sudah berdiri di belakangku.
"Nih, si panda nyariin lo mar". Usilnya sahabatku, rasanya ingin aku jambak rambutnya.
"Panda?" tanya damar heran.
"Mie-Panda Utami alias tami. Ini bocahnya. Bocah gendut yang sukanya makan mie, cocok dipanggil panda. Ha-ha-ha-ha" tawa bodo terdengar lepas dan puas. Saat bodo puas tertawa, akupun puas merutuki diriku sendiri. Kenapa tadi aku rela saja diseret-seret ke warung kopi.
"Oh maksudnya tami. Ada apa tami?" damar menoleh ke arahku. Oh baik hati sekali pria ini, dia tidak menghiraukan candaan dari orang usil bernama Arif Priambodo. Memang tidak salah aku memilihnya menjadi pujaan hati. Akupun semakin jatuh hati.
"Eh gak ada apa-apa. Si bodo...eh..maksudnya arif iseng aja" jawabku gelagapan.
"Ooh..kalo gitu gw duluan ya, lagi buru-buru mau ke kampus". Damar membalikkan badannya, berjalan menjauhi kami.

Saat posisi sudah aman dan damar tidak terlihat lagi. Aku segera beraksi, memukul-mukul lengan bodo sambil mencubit-cubitnya. Gemas. Geram lebih tepatnya. Memang diperlukan kesabaran ekstra untuk bisa tetap berteman denganya. Tapi percayalah kawan, jauh dilubuk hatinya Arif Priambodo adalah orang yang baik sekali. Rela berkorban. Aku pernah membuktikan kebaikan hatinya.

Waktu itu...


[bersambung]




Tidak ada komentar:

Posting Komentar