Aroma
mie soto ayam membumbung ke udara dan menggoda lidahku untuk bergoyang. Suara
dari dalam perutpun ikut berkata ‘makan,
makan’
"Ibu
pesen mie soto ayamnya satu, pake otak-otaknya juga ya bu satu" teriakku
memesan menu andalan di kantin sekolah ini. Rasanya sudah tidak sabar ingin
segera melahap makanan tersebut. Akhirnya Mang Midun datang mengantarkan
pesananku. Ritual aku saat memakan MiTo Plak-mie soto plus otak2- ini adalah
pertama membaui uap udara yang datang dari hangatnya mie tersebut. Selanjutnya
aku akan menambah irisan cabe rawit agar bertambah nikmat. Kemudian menyantap
mie tersebut perlahan-lahan. Menikmati tiap suapannya. Semenit. Dua menit.
Hidup ini terasa indah, aku tidak perlu sesiapa untuk makan bersama selama MiTo
Plak ada. Namun kekusyukan aku memakan MiTo Plak terganggu oleh mereka yang ada
di seberang meja sana.
Di
seberang meja sana berkumpul 5 orang dengan kombinasi 3 pria dan 2 wanita. Tak
usah diragukan, satu sekolah ini pasti tahu siapa kelima orang tersebut. Siswa
siswi populer. Sang pria terkenal karena jadi andalan dalam tim basket sekolah.
Dan sang wanita sukses ikut populer karena memacari 2 dari 3 pria bintang
sekolah. Berdasarkan perhitungan matematika sederhana, maka diantara mereka ada
1 pria yang belum memiliki pasangan. Dan pria itu adalah Bara.
“Bara,
ayo dong samperin sana, dia lagi makan sendirian tuh” ujar teman wanitanya.
Instruksi temannya hanya ditanggapi dengan gelengan kepala yang jika diartikan
ke dalam bahasa verbal kira-kira akan berbunyi seperti ini ‘gak ah malu’ atau ‘takut ah,
nanti dia marah’
Bara
mengerti sekali sifat aku yang dalam hal ini ,eehmm dengan nada bangga, menjadi
wanita idamannya. Jika saja bara menuruti saran teman wanitanya itu, maka ia harus
siap untuk menampung amarahku. Menjaga interaksi kami berdua di depan umum
adalah cara yang jitu, bara tahu itu. Namun usaha bara untuk menjaga aku agar
tetap nyaman makan di kantin gagal sudah akibat teriakan dari salah satu teman
prianya.
“Woii
Kiaraa, sini gabung. Sendirian aja”. Reaksi bara tertunduk lesu. Reaksiku
menghabiskan MiTo Plak dengan segera dan secepatnya meninggalkan kantin.
Melihat
punggungku berbalik dan berjalan menjauhi kantin membuat bara menghela napas
panjang.
“Tuhkan
dia kabur, kalian sih ganggu dia kayak gitu. Pasti dia marah.” keluh bara
kepada temannya.
“Ah
lagian si lo pake naksir cewe kayak gitu. Nyusahin doang tahu. Gak asik.”
ungkap salah satu temannya yang tidak suka denganku.
“MAKSUD
LO CEWE KAYAK GITU TUH APA!!! Gw gak pernah minta bantuan kalian untuk ngedeketin
gw sama kiara ya. Ka...”
“Udah
udah koq malah jadi berantem gini sih. Oke deh bar, abis ini kita gak akan
pernah ikut campur lagi urusan lo ma kiara” ucap teman wanitanya berusaha
melerai.
Bel
pertanda istirahat siang selesai belum berbunyi, tapi aku sudah kembali ke
kelas. Perasaan kesal masih menghinggapi. Andai saja sekawanan itu tidak ada
pasti aku masih di kantin menikmati makanan favoritku. Entah kenapa setiap
berdekatan dengan mereka emosi yang timbul hanya kesal dan marah. Aku tidak ada
dendam pribadi dengan teman-teman bara, hanya merasa terganggu oleh usaha
mereka mendekatkan aku dengan bara. Dan terhadap bara, rasa kesal dan ingin
marah selalu muncul untuknya. Entah karena aku memang tidak suka dengan dia
atau karena canggung menghadapi perasaan ini. Ah bara, kenapa kau menyulitkan
hidupku saja. Akan lebih mudah kalau kau menyukai wanita cantik nan pandai
bersosialisasi dari kelas sebelah. Sementara aku, dikenal oleh teman satu kelas
saja sudah syukur Alhamdulillah. Jika bukan karena prestasi akademisku mungkin
hanya teman sebangku yang sadar akan keberadaanku.
TEEEEETTTTTTTT
Bunyi
bel mengacaukan lamunanku. Teman-teman berhamburan masuk ke kelas. Salah satu
diantaranya ada bara. Iya, bara dan aku memang berada dalam satu kelas. Bara
berhasil masuk kelas unggulan pada tahun ketiga. Komposisi orang-orang di kelas
unggulan tidak banyak berubah dari tahun pertama hingga tahun ketiga. Penghuninya
itu-itu saja. Dan aku termasuk dalam kategori “itu-itu saja”.
Tata
busana adalah pelajaran terakhir sebelum sekolah hari ini usai. Materi
pelajaran tata busana minggu ini masih sama dengan minggu sebelumnya yaitu
melanjutkan tugas kelompok. Para siswa dibagi menjadi 5 kelompok. Agar
memudahkan kerja sama dalam kelompok, maka kerja sama yang pertama kami lakukan
adalah geser meja-geser bangku. Terbentuklah 5 lingkaran di kelas dan dalam
kelompok kami duduk saling menghadap. Sementara teman-teman kelompokku sibuk
mengeluarkan peralatan menjahit, aku malah sibuk menyiapkan peluru berbentuk
lingkaran kecil yang terbuat dari kertas. Peluru ini akan digunakan untuk
bermain “perang-perangan” antar kelompok. Kegiatan ekstra tersebut akan
dilakukan saat guru tata busana kami keluar kelas meninggalkan kami untuk
berkreasi sendiri.
Adrenalinku
terpacu saat bermain perang kertas ini. Timpuk satu. Kena timpuk satu dua tiga.
Aku selalu saja jadi sasaran empuk lawan. Tak mau kalah akupun berdiri.
Melemparkan serangan kertas ke segala penjuru. Manuverku akhirnya terhenti
karena menatap tatapan dari depan sana. Ternyata sudah lama bara menatapku.
Tatapannya tajam dan dalam. Tubuh ini dibuat kaku olehnya. Hanya otot mukaku
yang berhasil bergerak melengkungan senyuman. Akhirnya kami saling menatap.
Sedetik. Dua detik. Perlahan aku terduduk dan tertunduk malu. Bara membalasnya
dengan senyuman. Diapun membalikkan badan. Walaupun hanya punggungnya yang
dapatku lihat tapi senyum simpulnya masih ku ingat. Tak lama bara memberikan
secarik kertas ke teman sebelahnya. Secarik kertas itu pun sampai kepadaku dan
di dalamnya tertulis.
“Pulang
bareng yuk :D”
Segera
ingin ku jawab ajakan tersebut. Saat ingin menorehkan tinta di atas kertas
tersebut, aku terpikir bagaimana bisa kami pulang bareng. Rumahku ke arah
selatan dia ke arah utara. Ujung pulpen ini lama menggantung di atas kertas.
Sampai akhirnya ku putuskan untuk menjawab
“Iya”
Sore itu aku
tutup dengan jalan kaki bersama bara...
Jakarta, 2002
sumber gambar dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar