Selasa, 19 Februari 2013

Sore itu...


Aroma mie soto ayam membumbung ke udara dan menggoda lidahku untuk bergoyang. Suara dari dalam perutpun ikut berkata ‘makan, makan’


"Ibu pesen mie soto ayamnya satu, pake otak-otaknya juga ya bu satu" teriakku memesan menu andalan di kantin sekolah ini. Rasanya sudah tidak sabar ingin segera melahap makanan tersebut. Akhirnya Mang Midun datang mengantarkan pesananku. Ritual aku saat memakan MiTo Plak-mie soto plus otak2- ini adalah pertama membaui uap udara yang datang dari hangatnya mie tersebut. Selanjutnya aku akan menambah irisan cabe rawit agar bertambah nikmat. Kemudian menyantap mie tersebut perlahan-lahan. Menikmati tiap suapannya. Semenit. Dua menit. Hidup ini terasa indah, aku tidak perlu sesiapa untuk makan bersama selama MiTo Plak ada. Namun kekusyukan aku memakan MiTo Plak terganggu oleh mereka yang ada di seberang meja sana.


Di seberang meja sana berkumpul 5 orang dengan kombinasi 3 pria dan 2 wanita. Tak usah diragukan, satu sekolah ini pasti tahu siapa kelima orang tersebut. Siswa siswi populer. Sang pria terkenal karena jadi andalan dalam tim basket sekolah. Dan sang wanita sukses ikut populer karena memacari 2 dari 3 pria bintang sekolah. Berdasarkan perhitungan matematika sederhana, maka diantara mereka ada 1 pria yang belum memiliki pasangan. Dan pria itu adalah Bara.


“Bara, ayo dong samperin sana, dia lagi makan sendirian tuh” ujar teman wanitanya. Instruksi temannya hanya ditanggapi dengan gelengan kepala yang jika diartikan ke dalam bahasa verbal kira-kira akan berbunyi seperti ini ‘gak ah malu’ atau ‘takut ah, nanti dia marah’


Bara mengerti sekali sifat aku yang dalam hal ini ,eehmm dengan nada bangga, menjadi wanita idamannya. Jika saja bara menuruti saran teman wanitanya itu, maka ia harus siap untuk menampung amarahku. Menjaga interaksi kami berdua di depan umum adalah cara yang jitu, bara tahu itu. Namun usaha bara untuk menjaga aku agar tetap nyaman makan di kantin gagal sudah akibat teriakan dari salah satu teman prianya.


“Woii Kiaraa, sini gabung. Sendirian aja”. Reaksi bara tertunduk lesu. Reaksiku menghabiskan MiTo Plak dengan segera dan secepatnya meninggalkan kantin. 


Melihat punggungku berbalik dan berjalan menjauhi kantin membuat bara menghela napas panjang. 


“Tuhkan dia kabur, kalian sih ganggu dia kayak gitu. Pasti dia marah.” keluh bara kepada temannya.


“Ah lagian si lo pake naksir cewe kayak gitu. Nyusahin doang tahu. Gak asik.” ungkap salah satu temannya yang tidak suka denganku.


“MAKSUD LO CEWE KAYAK GITU TUH APA!!! Gw gak pernah minta bantuan kalian untuk ngedeketin gw sama kiara ya. Ka...”


“Udah udah koq malah jadi berantem gini sih. Oke deh bar, abis ini kita gak akan pernah ikut campur lagi urusan lo ma kiara” ucap teman wanitanya berusaha melerai.


Bel pertanda istirahat siang selesai belum berbunyi, tapi aku sudah kembali ke kelas. Perasaan kesal masih menghinggapi. Andai saja sekawanan itu tidak ada pasti aku masih di kantin menikmati makanan favoritku. Entah kenapa setiap berdekatan dengan mereka emosi yang timbul hanya kesal dan marah. Aku tidak ada dendam pribadi dengan teman-teman bara, hanya merasa terganggu oleh usaha mereka mendekatkan aku dengan bara. Dan terhadap bara, rasa kesal dan ingin marah selalu muncul untuknya. Entah karena aku memang tidak suka dengan dia atau karena canggung menghadapi perasaan ini. Ah bara, kenapa kau menyulitkan hidupku saja. Akan lebih mudah kalau kau menyukai wanita cantik nan pandai bersosialisasi dari kelas sebelah. Sementara aku, dikenal oleh teman satu kelas saja sudah syukur Alhamdulillah. Jika bukan karena prestasi akademisku mungkin hanya teman sebangku yang sadar akan keberadaanku. 


TEEEEETTTTTTTT


Bunyi bel mengacaukan lamunanku. Teman-teman berhamburan masuk ke kelas. Salah satu diantaranya ada bara. Iya, bara dan aku memang berada dalam satu kelas. Bara berhasil masuk kelas unggulan pada tahun ketiga. Komposisi orang-orang di kelas unggulan tidak banyak berubah dari tahun pertama hingga tahun ketiga. Penghuninya itu-itu saja. Dan aku termasuk dalam kategori “itu-itu saja”. 


Tata busana adalah pelajaran terakhir sebelum sekolah hari ini usai. Materi pelajaran tata busana minggu ini masih sama dengan minggu sebelumnya yaitu melanjutkan tugas kelompok. Para siswa dibagi menjadi 5 kelompok. Agar memudahkan kerja sama dalam kelompok, maka kerja sama yang pertama kami lakukan adalah geser meja-geser bangku. Terbentuklah 5 lingkaran di kelas dan dalam kelompok kami duduk saling menghadap. Sementara teman-teman kelompokku sibuk mengeluarkan peralatan menjahit, aku malah sibuk menyiapkan peluru berbentuk lingkaran kecil yang terbuat dari kertas. Peluru ini akan digunakan untuk bermain “perang-perangan” antar kelompok. Kegiatan ekstra tersebut akan dilakukan saat guru tata busana kami keluar kelas meninggalkan kami untuk berkreasi sendiri. 


Adrenalinku terpacu saat bermain perang kertas ini. Timpuk satu. Kena timpuk satu dua tiga. Aku selalu saja jadi sasaran empuk lawan. Tak mau kalah akupun berdiri. Melemparkan serangan kertas ke segala penjuru. Manuverku akhirnya terhenti karena menatap tatapan dari depan sana. Ternyata sudah lama bara menatapku. Tatapannya tajam dan dalam. Tubuh ini dibuat kaku olehnya. Hanya otot mukaku yang berhasil bergerak melengkungan senyuman. Akhirnya kami saling menatap. Sedetik. Dua detik. Perlahan aku terduduk dan tertunduk malu. Bara membalasnya dengan senyuman. Diapun membalikkan badan. Walaupun hanya punggungnya yang dapatku lihat tapi senyum simpulnya masih ku ingat. Tak lama bara memberikan secarik kertas ke teman sebelahnya. Secarik kertas itu pun sampai kepadaku dan di dalamnya tertulis.


“Pulang bareng yuk :D”


Segera ingin ku jawab ajakan tersebut. Saat ingin menorehkan tinta di atas kertas tersebut, aku terpikir bagaimana bisa kami pulang bareng. Rumahku ke arah selatan dia ke arah utara. Ujung pulpen ini lama menggantung di atas kertas. Sampai akhirnya ku putuskan untuk menjawab


“Iya”


Sore itu aku tutup dengan jalan kaki bersama bara...




Jakarta, 2002
  sumber gambar dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar